~~tulisan ini menjadi salah satu tulisan dalam buku MEMBACA MAGELANG #3 dengan edit seperlunya.
Minggu, 1 Februari 1987
Gemerisik suara rimbunan daun bambu di
belakang rumahnya membuat semarak sibuknya pagi ini. Hari ini memang istimewa
untuk perempuan muda yang kini sedang sibuk menyiapkan sayur lodeh untuk suami
tercintanya. Sambil sesekali ditengoknya langit, ia membisikkan doa agar cuaca cerah sepanjang
hari.
Kegembiraannya yang meletup-letup di
rongga dadanya, diawali dari pembicaraan kecil dengan suaminya semalam. Tentang
perlengkapan untuk kedatangan sang buah hati yang menurut dokter tinggal beberapa
hari lagi, belum satupun dipersiapkan. Maka hari esok, dimana tabungan sudah lumayan
terkumpul, adalah saat yang tepat untuk pergi berbelanja
berbagai perlengkapan. Biarpun habis uang mereka hari itu,
toh esok harinya lagi adalah saatnya uang gaji mereka dibayarkan. Cukuplah
untuk biaya melahirkan nanti.
Ritual
sarapan pagi itu dipenuhi tawa keduanya, Kadang riuh rendah, kadang
pula suara sang suami tergelak kencang.
Tak
lama, bergegaslah mereka menuju rentetan pertokoan di pecinan kota. Belum pernah mereka berbelanja sebanyak
itu sebelumnya, dan jika bukan karena beberapa lembar uang tersisa
di dompet mereka, tidaklah mereka akan mengakhiri perjalanan mereka hari
itu.
Sabtu, 15 Agustus 2009
Malas sekali
rasanya aku beranjak dari tempat tidurku pagi ini. Padahal sinar matahari pagi
ini cukup hangat menerpa wajahku menerobos melalui kisi-kisi jendela. Seharusnya hangatnya mampu membangkitkan
semangatku menjalani hari. Tapi apalah daya sang mentari, kalau empunya badan
saja justru segera menutup tirai rapat-rapat.
Penyakit
bosanku sudah sampai titik kulminasi nampaknya. Bagaimana aku tidak bosan, sudah
hampir sebulan ini aku menjalani cuti melahirkan di rumah orang tuaku di Magelang. Sedangkan suamiku
kutinggalkan di pulau
seberang untuk tetap bekerja memenuhi
kewajibannya. Tidak banyak yang bisa
kulakukan selain berjalan pagi setiap harinya dan menonton acara televisi di
rumah. Sesekali melakukan senam hamil dari VCD yang pernah dikirimkan oleh
suami, tapi tidak pernah sampai akhir. Baru bebrpa gerakan, sudah bosan dan
mengantuk. Apalagi semakin dekatnya saat-saat aku melahirkan, tidak banyak aktivitas
fisik yang boleh dilakukan. Maka pagi
ini kubulatkan tekad untuk merayunya mendapatkan izin membuang penat
berjalan-jalan di pecinan kota.
Kalau sampai gagal, sudahlah aku sudah tidak bersemangat lagi.
“Boleh ya?”pintaku sedikit
merajuk saat suamiku menelpon pagi
ini.
“Sendirian?”tanyanya kemudian.
“Iya, bapak ibu masih kerja, adek
juga sekolah. Mungkin nanti kami janjian aja makan disana kalau adek pulang.
Boleh ya?”pintaku.
“Baiklah, tapi hati-hati. Jangan
terlalu capek,”jawabnya menyerah.
Yes, teriakku dalam hati.
Petualanganku
dimulai dengan berjalan kaki dari rumah menuju jalan raya menyusuri tepian sungai dan melalui pohon
beringin besar di tengah jalan, menaiki angkutan kota yang penuh sesak
oleh penumpang, berjalan kaki melintasi alun-alun kota Magelang, lalu duduk
manis di sebuah restoran fast food
menikmati dua menu yang kupesan.
Setelah cukup
kenyang, tergelitiklah hati ini untuk berjalan-jalan menilik beberapa toko mencari dompet yang cukup menarik hati. Satu
demi satu toko dimasuki,
dan seperti yang kuduga sebelumnya, hingga toko terakhir yang dimasuki tak ada satupun dompet yang dibeli. Ketika
kaki mulai terasa kaku dan badan mulai terasa lelah, barulah aku memutuskan
untuk mengakhiri perjalanan hari ini. Tidak membawa apapun, hanya membawa kepuasan dan kebahagian tersendiri.
Senin, 2 Februari 1987
Selepas maghrib kemarin sepulang berbelanja,
perut sang wanita muda tak henti-hentinya terasa mulas. Merasa bahwa perkiraan
lahir masih cukup lama, sepasang suami istri yang masih sedikit
pengalaman itu memutuskan menunggu hingga esok hari berharap sakit perut
itu akan reda dengan sendirinya. Toh jika memaksakan malam itu juga ke
rumah sakit, sudah tidak ada kendaraan yang bisa membawa
mereka. Memikirkan peluang merepotkan tetangga malam-malam begini, nampaknya
hal itu ditepis jauh-jauh oleh mereka berdua.
Tapi Tuhan berkehendak lain. Hingga
adzan subuh hampir terdengar, rintihan sakit sang wanita belum
juga hilang. Suami yang matanya mulai memerah karena tidak tidur
semalamam, akhirnya meminta pertolongan tetangga sebelah rumah.
“Dek, kita kerumah sakit ya sekarang, Kata ibu sebelah itu tanda-tanda
mau melahirkan. Adek naik becak dulu ke rumah sakit. Nanti mas
menyusul. Mas siapkan dulu barang-barang.”
Maka, pukul 5 lewat beberapa menit, becak
itu sudah beradu di jalanan kota Magelang menyusuri jalan Pahlawan yang masih
lengang. Udara masih dingin dan mengembun, tapi peluh pengayuh becak bercucuran
deras. Nampaknya ia berjuang sekuat tenaga untuk sampai di rumah sakit bersalin
secepatnya. Penumpang seorang wanita muda yang nampaknya akan
segera melahirkan membuatnya mengayuh becaknya sekuat tenaga.
Setelah melalui pasar Kebon Polo, dan
papan nama “Rumah Sakit Budi Rahayu” nampak diujung jalan, sedikit legalah
hati sang pengayuh becak. Pagi
ini, selain bagi sang wanita muda itu, bagi sang pengayuh becak adalah hari
yang penuh rahmat karena baginya pagi ini dia telah menyelamatkan nyawa
dua jiwa.
Minggu, 16 Agutus 2009
Sore ini,
mertuaku datang menjemputku untuk bermalam di rumahnya. Untunglah rumah
mertuaku ini hanya berjarak 6 km dari rumah ibuku. Hamparan sawahnya masih membentang
luas dikelilingi pemandangan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Udaranya masih bersih dan menyegarkan.
Sungai-sungai irigasi dikanan kiri jalan mengalirkan air yang bening dan
bersih. Semua alasan itu cukup untuk menjadikan jalan-jalan pagi agenda utama
yang akan kulakukan esok pagi. Sambil merencanakan apa yang akan aku lakukan
esok hari, aku memijit kakiku yang terasa kaku. Lelah, pasrah,
hingga udara malam mulai
menyelimutiku dalam-dalam.
Tiba-tiba, ketika aku mengganti posisi kaki,
terasa suatu yang mencubit
dalam perutku. Tidak
sakit sih, tapi rasanya jelas tertinggal di dalam perut. Beberapa saat tidak
ada yang terjadi, namun tiba-tiba aku berasa ingin buang air kecil. Bukan,
bukan!. Ini bukan buang air kecil biasa, rasanya tak bisa ditahan. Air begitu banyak keluar begitu saja
tanpa bisa dibendung.
Cemas dan
khawatir mulai membayangi raut muka bapak ibu mertuaku, tapi aku berusaha
bersikap tenang. Kutolak ajakan mertuaku untuk ke rumah sakit. Malam
menunjukkan pukul 11 malam, dan rasa tak enak lebih menguasaiku jika malam ini
kami harus ke rumah sakit sedangkan sampai sana ternyata menurut dokter kami
hanyta khawatir berlebihan. Maka
kuputuskan menunggu hingga pagi tiba, walaupun selama
itu, mata ini sama sekali tidak bisa terpejam. Khawatir…
Senin , 2 Februari 1987
Tak butuh waktu lama, akhirnya sang wanita
sudah berbaring di ruang bersalin rumah sakit itu. Beberapa
saat memeriksa, guratan-guratan wajah dokter setengah baya itu
berubah serius. Operasi harus segera dilakukan karena posisi bayiku melintang.
Dokter tak butuh waktu lama untuk segera
meminta para asistennya untuk menyiapkan ruang operasi. Ditinggalkannya wanita
muda itu sendiri, sambil menahan sakit yang belum berkesudahan
sejak semalam. Mulutnya tak henti-hentinya berdoa, agar Tuhan
menyelamatkan anak yang dikandungnya.
Ketika mulutnya hampir selesai merapalkan
doa yang diulang-ulangnya sedari tadi, tiba-tiba ia merasa harus mengejan
begitu keras. Dirabanya bagian bawah tubuhnya, dan terasa sepasang
kaki mungil telah keluar sebelum saatnya. Kepanikan
tiba-tiba menguasainya, ia berteriak meminta pertolongan
dokter dan perawat yang saat itu sedang
sibuk semua menyiapkan ruangan operasi. Kehebohan seketika menyeruak.
Perawat dan dokter berlarian terburu-buru menuju ruang
perawatan, bergegas membawa pealatan melahirkan yang tadi sempat dipindahkan.
Belum
selesai pula mereka menyiapkan ruang operasi, pasien mereka sudah memulai
sendiri tahap persalinan. Dengan cekatan, prosedur persalinan normal dilakukan.
Perlahan ditariknya kedua kaki mungil keluar dari rahim sang wanita itu.
Tidak ada suntikan anestesi yang disuntikkan pada
wanita itu, karena sudah tidak ada waktu lagi. Maka
rasa sakit yang semalam dirasakan tiba-tiba menjadi berkali-kali lipat ketika
dokter mengeluarkan bayinya yang lahir secara sungsang. Ketegangan belum
berakhir ketika akhirnya bayinya terhenti di bagian leher, dan dokter harus
menggunting jalan lahir baginya. Darah mengalir kemana-mana, dan wanita
muda yang tegar itu menahan sakit yang luar biasa di balik bibirnya.
Senin, 17 Agustus 2009
Hari ini rumah
sakit Budi Rahayu tiba-tiba ramai tidak seperti biasanya. Banyak orang tua yang membuat janji operasi caecar pada hari
ini., mumpung bertepatan dengan hari kemerdekaan RI. Sedang aku, sudah sejak kemarin menjadi penghuni ruang bersalin rumah sakit ibu dan anak ini.
Pecah ketubanku sudah sejak
malam sebelumnya, tapi tanda-tanda kontraksi belum ada. Sejak kemarin dokter
memberikan penanganan induksi
melalui pil untuk memicu kontraksi,
tapi tidak bereaksi apa-apa. Kontraksi tetap tidak terasa. Maka pagi ini, dokter memutuskan untuk melakukan prosedur berikutnya yaitu
menyuntikkan cairan obat induksi melalui infus.. Tidak bisa digambarkan dan
dilukiskan dengan apapun juga rasa sakit yang
luar biasa hebat melebihi rasa sakit
kontraksi biasa. Nafasku tersenggal-senggal hingga dokter akhirnya memutuskan
untuk member bantuan oksigen. Tidak ada makanan yang bisa kutelan, bahkan makanan yang sempat kumakan
sebelumnya dimuntahkan habis olehku. Tenagaku semakin terkuras, karena hampir 10 jam aku menjalani induksi
ini. Akhirnya setelah
bukaanku mencapai 5, dokter memutuskan melepas selang infusku. Kelegaan yang
luar biasa, tapi aku sudah terlanjur lemah. Masih lagi harus merasakan
kontraksi alamai yang berlanjut kemudian. Menunggu hingga bukaan lengkap
sempurna, dan selesailah semua perjuangan berat ini.
Ritme
kontraksi alami ini lebih menenangkan dari pada ketika kontraksi akibat induksi
tadi. Pada masa-masa itu, aku dapat
mendengar sayup-sayup ibuku menangis disampingku sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran.
Suamiku dengan setia sejak kedatangannya kemarin dari pulau seberang langsung
menuju rumah sakit,dan tak
pernah meninggalkanku sedikitpun. Bersabar
dan berdoa di sampingku. Entahlah siapapun yang silih berganti menjengukku,
bahkan siapa saja yang menungguiku di luar ruang bersalin, aku sudah tahu lagi.
Pukul 10.30 malam, akhirnya dokter datang saat aku mengeluhkan sudah tidak sanggup menahan diri untuk mengejan. Dokter bergegas memeriksa dan ternyata bukaannya sudah sempurna.
Senin, 02 Februari 1987
Lega sudah sang wanita setelah perjuangannya
yang cukup melelahkan. Barulah disadarinya, bahwa sang suami sedari
tadi tak mendampinginya. Ketika perawat keluar ruangan
membawa bayi mungilnya berbungkus handuk-yang dikenalinya
sebagai handuk yang mereka beli hari sebelumnya, sang suami terkejut dan segera
mengikuti perawat tersebut. Harap-harap cemas ia memastikan
bahwa bayi mungil itu adalah anaknya. Dan sang wanita itu,, ditinggalkan tetap
di ruangan menanti suaminya datang. Sendirian.
Senin, 17 Agustus 2009
Satu lagi bayi yang dilahirkan di Rumah Sakit Budi
Rahayu tepat pukul 22.30 malam itu. Gegap gempita akhirnya pecah di keluarga besar kami yang sudah menunggu
proses persalinan ini sejak kemarin. Dan ketika akhirnya bayi mungil kami
dibawa keluar oleh bidan menuju ruang perawatan bayi, semua anggota keluarga
kami mengikutinya. Tidak ada satupun yang menyadari, bahwa aku masih terbaring
di ruang persalinan, tanpa dokter, tanpa bidan. Sendirian.
Bandar
Lampung, 6 April 2015
Nb: Tulisan ini untuk ibuku yang
setelah kupikir-pikir, memiliki kisah yang sama denganku. Kutulis didepan dua
anak gadisku yang terlelap, dan membayangkan bahwa mereka pasti punya kisahnya
sendiri nanti.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar