Aroma ini mulai perlahan menggelitik memori yang sudah lama terkubur dalam ingatanku. Kuhirup dalam-dalam, hingga memenuhi semua rongga dalam tubuhku, membawa perasaan damai yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Yah, tempat ini memang pernah menjadi salah satu tempat terindah dalam hidupku.
“Pa, dedek mau pipis,”kata anakku yang masih berumur lima tahun
sambil menarik narik bajuku.
Suara kecilnya yang khas membuyarkan lamunanku. Menarikku
kembali ke alam nyata dengan kesibukan stasiun kota yang khas. Senyumku pun tak
kusadari sudah mengembang begitu saja, melihat kaki anakku sudah
melompat-lompat kecil.
“Iya sayang, yuk kita ke toilet,”ajakku segera.
Sesaat butuh beberapa waktu untukku mengingat kembali dimana
letak toilet. Entah sudah berapa tahun aku tidak datang ke tempat ini. Sebuah
stasiun kecil di kota selatan Jawa Tengah. Ah ya, itu dia toiletnya. Ada di ujung ruang
tunggu stasiun. Agak jorok memang, tapi mau bagaimana lagi, putri kecilku
sudah menarikku tidak sabar.
Disanalah, dipojokan stasiun, dekat toilet, duduk termangu
seorang wanita dengan pandangan menerawang. Pakaiannya yang lusuh
membungkus tubuhnya yang kurus dan tak terawat. Tidak ada yang aneh dengan
wanita itu, seperti halnya gelandangan yang lain. Paling tidak begitulah penilaianku
saat sekilas melihatnya. Tapi tatapan matanya seolah berkata lain. Pandangan matanya
pasti menyentuh hati siapapun yang bisa merasakannya. Tatapan yang sendu dan
meneduhkan, sungguh kontras dengan penampilannya yang kumal. Tiba-tiba tanpa sengaja
pandangan kami beradu. Sedetik berikutnya senyuman kecil mulai menghiasi
bibirnya dan perlahan tapi pasti berubah menjadi tawa yang menyenangkan. Tawa
terbahak-bahak hingga badannya terguncang, terguling-guling ke lantai. Hm,
sedikit membuatku takut.
Segera setelah melihat putri kecilku keluar dari bilik kamar
mandi, aku menggandengnya pergi secepat
mungkin.
***
Kakanda, aku masih menunggu di sini. Kenapa tak kunjung jua kau
kembali? Apakah disana, di kota nan jauh itu, masih banyak urusanmu? Masih
banyak yang harus kau selesaikan? Adakah banyak rintangan?
Kakanda, aku masih ingat janjimu untuk membawa kedua orang tuamu
kesini, melamarku dan kita menikah di mushola kecil dekat rumahku. Bukankah itu
rencana kita dulu? Membangun keluarga kecil dengan seorang putri.
Kakanda, jika teringat alasan kau pergi dulu, sakit itu terasa
perih lagi. Tapi janjimu untuk kembalilah yang membuatku sanggup melalui waktu.
Sanggup menerjang halangan sesulit apapun. Karena janjimu dan keyakinanku,
bahwa kau akan kembali padaku. Aku tidak bisa menahan senyum ini untuk terbit,
kala kenangan manis kita dahulu muncul kembali. Waktu itu kita masih muda, tapi
kita sudah cukup dewasa untuk merancang kehidupan. Tetapi, karena orang tua
kakanda ada di kota besar itu dan kakanda belum lulus kuliah disini, kita tidak
bisa segera mewujudkan mimpi menuju pelaminan. Dan dengan segala daya,
kubendung dan kusimpan rapi mimpi itu di hati.
Ah Kakanda, kau sudah terlanjur menanam bibit harapan di hatiku.
Bibit yang setiap hari kau siram dengan asa. Maka, setiap hari, setiap
malam-malamku, bahkan di setiap helaan nafasku, tak henti-hentinya kurangkai
impian menjadi pendamping hidupmu. Setiap malam kuuntai asa untuk menjadi
ibu bagi anak-anakmu. Maka demi mimpi itu, mimpi yang sudah begitu nyata di
depan mataku, aku rela melakukan apapun untuk mewujudkannya.
Air mata ini kini menetes
melihat bayangan diriku saat ini. Salahkah jika hanya ini yang bisa aku lakukan?
Duduk menunggumu disini? Kakanda, bukannya aku tidak mencoba menyusulmu ke
sana, tapi petugas-petugas itu jahat padaku. Pasti kakanda akan marah
bila melihat perlakuan mereka padaku selama ini. Apalagi
ketika mereka tahu aku diam-diam menyelinap di dalam gerbong kereta, pasti
mereka akan langsung mengikat dan mengurungku. Padahal aku tidak bermaksud
jahat, aku hanya ingin bertemu denganmu. Aku ingin menjemputmu. Aku ingin
memelukmu lagi dengan mimpiku.
Rinduku padamu sudah hampir membunuhku. Menyesakkan dadaku
setiap waktu. Semua pertanyaan tak terjawab ini mulai mengikatku. Mengikatku
pada ruang kosong tak berpintu. Airmata mulai menetes semakin deras di wajahku.
Biarlah menetes begitu saja, tanpa seorangpun mengusapnya. Aku rindu belaian
tanganmu di wajahku. Aku merindukanmu….
***
“Pa, Mama mana? Kok lama ya?” gadis kecilku ini mulai berceloteh
lagi.
“Pa, kapan-kapan kita main lagi ya ke sini. Ketemu sama Om Agus.
Om Agus itu lucu ya Pa, perutnya gembul,”kata anakku sambil tertawa.
Aku mengangguk mengiyakan sambil kutatap mata anakku dalam. Mata
bulat bening yang memancarkan kejujuran.
“Yah… Agus, kalau bukan karena kau menikah, mungkin aku tidak
akan sampai di kota ini,”gumamku perlahan.
“Pa, mana Mama?”tanya putri kecilku sekali lagi.
“Itu Mama sayang,”kataku sambil menunjuk wanita cantik berjilbab
ungu yang berjalan perlahan ke arah kami.
Senyumannya, langsung menentramkan hatiku. Yah, wanita yang
langsung kupilih sebagai pendamping hatiku kala melihat senyumannya. Senyum
yang memperlihatkan ketulusan dan kebaikan hatinya. Senyum yang menjanjikan
kedamaian.
“Duh, Mama lama banget sih, Papa sama Dedek sudah lapar berat
dari tadi,” kataku menggoda.
“Sabar sih Papa ini, tadi di warungnya ngantri. Tapi, maaf ya,
nasi bungkusnya cuma ada dua bungkus, di warung tadi sudah habis. Jadi,
jatahnya hanya ada untuk mama dan dedek,” kata istriku.
“Benarkah?”tanyaku menyelidik.
Senyum jahilnya tiba-tiba muncul dan kemudian ia meyerahkan satu bungkus nasi
yang lebih besar dari dua bungkus sebelumnya.
“Tapi, mama bohong. Ini spesial buat Papa sayang,”
Sambil menerima nasi bungkus itu, kucubit kecil tangannya dan
kamipun tertawa bersama. Ah wanita ini, bahkan pegal-pegal di kaki karena dari
tadi menunggu kereta yang tak kunjung datang, sirna sudah hanya dengan tawanya.
Inikah kekuatan cinta?
***
Hentikan!!!!
Kututup kedua telingaku. Aku benci mendengar setiap kata, selain
kata-katamu kakanda. Aku muak mendengar setiap tawa, selain tawa renyahmu.
Bahkan aku mulai benci melihat wajah, yang selalu bukan wajahmu. Aku mulai muak
melihat setiap bayangan, yang juga bukan milikmu. Aku kesepian. Semua orang sudah meninggalkanku.
Semua orang sudah menjauhiku, seolah mereka jijik melihat sosokku. Padahal aku
hanya ingin mempertahankan cintaku padamu.
Maka hari ini, seperti setiap hari bertahun-tahun yang lalu, aku
masih disini menunggumu kembali. Bahkan hingga hanya bintang yang menemaniku setiap
malam, aku akan selalu disini. Saat dingin mulai merusak persendian dan
tulang-tulangku, akupun masih bertahan. Takkan aku melewatkan satu detikpun,
aku takut kakanda tak bisa menemukanku. Aku khawatir kakanda akan bingung
mencariku. Maka hingga detik ini, selama detak jantung ini masih berdetak, aku akan
tetap disini.
***
Entah mendapat uang dari mana, gadis kecilku ini sudah menggenggam
uang logam di tangannya. Hm, pasti hasil dia mengaduk-aduk dompet istriku tadi.
“Mah, ini uangnya buat mbak-mbak yang ada di pojokan itu ya, kasihan,”
kata gadis kecilku sambil langsung berlari menghampirinya tanpa menunggu
persetujuan dari kami.
Mungkin karena selama ini kami tidak pernah melarang dia
memberikan uang kepada pengemis di jalanan, maka saat melihat wanita yang
sempat aku perhatikan tadi, nalurinya langsung bangkit. Tapi kali ini lain, aku harus menghentikannya.
Wanita itu sepertinya agak aneh. Sedari tadi, pandangannya tidak pernah lepas
dari kami.
Aku segera berlari dan menarik tangan anakku agar kembali
ke tempat kami menunggu. Aku khawatir wanita itu akan menakuti atau bahkan
menyakiti putri kami.
“Jangan Sayang, jangan dekat-dekat orang itu!” teriakku.
“Kenapa Pa?”tanya anakku heran sambil mengurangi kecepatan
langkahnya.
Kugandeng kembali tangan kecilnya.
“Sayang, itu kan orang gila, Dedek mau nanti diculik orang
gila?” kataku menjelaskan. Sesaat aku menoleh ke arah wanita yang kuyakini gila
itu. Sesaat ada yang berbeda dari tatapannya. Tatapan yang langsung mencekik
hatiku. Tatapan yang memperlihatkan kebahagiaan. Tapi tatapan itu justru
menusuk tubuhku tajam…Menyayat.
Akupun memalingkan wajahku segera dan mempercepat langkah
menjauhinya.
***
Jangan sayang,
jangan dekat-dekat orang itu?
Ih, sayang, itukan orang gila, Dedek mau nanti diculik orang
gila?
Seketika itu juga, kalimat itu menyadarkanku dari lamunan
panjangku selama ini. Kuangkat wajahku pasti. Seolah petir menggelegar di dalam
kepalaku, menyadarkanku dari tidur panjang. Aku tidak perlu waktu lama untuk meyakinkan
diri. Dan benar, itu dia, kakandaku, suara kakandaku, wajah kakandaku. Kakanda
yang kunanti selama ini.
Kakandaku kembali!
Kakandaku kembali!
Ingin kuberteriak sekeras mungkin. Tapi entah disaat ini,
mengapa suara ini tertahan di tenggorokan. Tertahan oleh nafasku yang tersengal. Kebahagiaan yang
terlalu tiba-tiba ini, sungguh menyesakkan jiwa. Ingin aku berteriak mengeluarkan
semua yang ada didada. Jiwa ini tiba-tiba bergolak hebat, tidak mampu menahan
semua rasa yang mambahana. Memenuhi semua ruang kosong yang telah lama
diabaikan.
Kakandaku kembali. Kebahagiaan ini telah menjalar hingga ke
seluruh tubuh, hingga raga ini tidak mampu lagi menampung segalanya secepat
ini. Semuanya terlalu cepat. Sekali lagi aku mencoba berteriak memanggil
namanya. Tapi sekali lagi suara ini hanya terdengar seperti hembusan nafas yang
berat.
Tiba-tiba semuanya gelap.
Sosok kakanda berputar hebat di dalam kepala, lalu perlahan
kembali menghilang.
***
Aku menghela nafas lega ketika akhirnya kereta yang kami tunggu
datang. Suaranya yang lantang memutus
mata rantai lamunanku. Sesaat aku merasa terhipnotis oleh tatapan wanita itu.
Sungguh mengganggu hati dan mengusik perasaan.
Tatapannya mengingatkanku akan sosok gadis sederhana. Gadis asli
kota ini yang dulu pernah kukenal. Gadis yang
mengisi masa mudaku yang belum memikirkan masa depan. Masa muda yang
begitu ringan. Masa muda yang belum memikirkan beban dan hanya menjalani
kehidupan apa adanya. Ah masa itu adalah masa lalu.
Kupalingkan wajahku pada sesosok wanita yang kini mendampingiku.
Ekspresinya menunjukkan keheranan karena aku tak segera beranjak dari tempatku
berdiri. Perlahan tangannya yang lembut menyentuh tanganku.
“Ayo Pa, sebentar lagi keretanya berangkat,” katanya perlahan.
Benar, inilah kenyataan. Sekali lagi, kutinggalkan bayangan
wanita itu dari hidupku. Seperti bertahun-tahun yang lalu, di stasiun ini juga,
ia dulu melepas kepergianku.
Ah, kenapa wanita aneh itu justru mengacak-acak kenanganku. Aku
melangkah mantap. Sekali lagi aku menoleh ke arah wanita aneh itu. Matanya
masih terus saja mengawasiku. Aku menggeleng
perlahan, “Bukan! Pasti bukan dia. Wanita gila itu, pasti
bukan Lina,”gumamku. Senyumku mulai
mengambang, aku
menertawai dugaan bodohku
sendiri.
Sesaat aku merasa bahwa wanita itu adalah Lina. Aku tertawa lebih lepas,
“Bodohnya aku, Itu mustahil”.
Sudut mataku masih sempat menangkap sosoknya yang ambruk saat
kereta ini mulai melaju. Kubiarkan sosok itu berlalu seperti butiran debu yang
terbelah oleh deru kereta. Aku tidak mau tahu.
Kugenggam tangan istriku lebih erat. Meninggalkan kenangan yang mulai kukubur kembali. Lega rasanya.
***
Kereta mulai melaju, perlahan tapi pasti. Meninggalkan seorang
wanita kumal dan gila, tergolek pingsan di tempat yang sama, dipojokan stasiun
kereta. Seperti biasa, dia ada, tapi tak ada yang menganggapnya ada. Namun
kali ini ada yang tidak biasa,
wanita itu tersenyum dalam ketidaksadaranya. Paling tidak, dia akhirnya
menemukan kebahagiaan, walau mungkin semua sudah
terlepas lagi dari genggamannya.
**********
Wien-Mei 2011
Tidak ada komentar :
Posting Komentar